“ AL GHAZALI 1058-1111 M”
A.Riwayat Hidup
Abū Ĥāmid al-Ghazālī yang dikenali sebagai Algazel di Dunia Barat, adalah salah seorang ilmuwan Islam. Beliau juga merupakan seorang wali Allah yang besar dan lebih dikenal umum sebagai seorang tokoh pemikir Islam serta dianggap sebagai al-mujaddid untuk kurunnya. Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z). Kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pinal benang, disebabkan karena pekerjaan ayahnya.
Imam Al Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali, gelaran nisbahnya al-Ghazālī aţ-Ţūsī. Nama panggilannya (kunyah) pula Abū Ĥāmid. Di antara nama-nama gelaran lain yang telah diberikan kepadanya ialah Ĥujjatul-Islām, Sirāj al-Mujtahidīn dan Zain al-'Ābidīn. Ia lahir pada tahun 450 H bertepatan dengan 1058 M, di Ghazaleh kota Thusi, wilayah Kurasan (Persia).Dan wafat di Tabristan wilayah propinsi Tus pada tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, bertepatan dengan 1 Desember 1111 M.[1]
Keluarga Abū Ĥāmid al-Ghazālī kuat beragama. Ayahnya bekerja menenun kain dari bulu biri-biri. Hasil tenunan kainnya itu dibawa dari desa Ghazālah ke kota Ţūs untuk dijual di sana. Walaupun si ayah adalah seorang lelaki yang miskin, dia juga merupakan seorang yang jujur dan baik hati. Dia suka bergaul dengan al-'ulamā' dan juga para sufi sambil memetik ilmu-ilmu agama, serta berbakti dan berkhidmat kepada mereka. Kerana selalu mendampingi orang-orang yang berilmu dan sering pula mendengar uraian-uraian daripada mereka, si ayah telah merasa kesan positifnya, lalu berdoa agar dia dikurniakan seorang anak yang cerdik, berilmu dan juga şāliĥ. Doanya itu telah diperkenankan.
Ayah Abū Ĥāmid al-Ghazālī telah meninggal dunia ketika Abū Ĥāmid al-Ghazālī berumur lebih kurang enam tahun. Setelah ayahnya meninggal dunia, beliau dan adik lelakinya yang bernama Aĥmad, telah hidup di bawah asuhan seorang sahabat ayah mereka, seorang mutaşawwif.
Si ayah ada mewasiatkan sedikit uang dengan sahabatnya itu untuk membiayai kehidupan kedua orang anaknya itu. Mereka pun mula belajar membaca dan menulis dari sahabat ayah mereka itu. Tetapi, setelah beberapa waktu berlalu, uang belanja itu telah habis. Dan sahabat ayahnya itu menyarankan mereka untuk pergi ke Tus dan belajar dimadrasah disana.
Madrasah yang dimaksudkan itu ialah sebuah institusi pelajaran yang diberikan nama al-Madrasah an-Niżāmiyyah. Ia telah diasaskan oleh Niżām al-Mulk, perdana menteri kepada as-Sulţān Alp Arslān (yang berketurunan Seljuq). Al-Madrasah an-Niżāmiyyah juga turut membiayai makanan, pakaian, dan juga kitab-kitab kegunaan para pelajarnya.
Niżām al-Mulk adalah seorang lelaki yang gemar kepada ilmu pengetahuan dan gemar pula bergaul dengan para cerdik pandai. Dia juga telah mendirikan beberapa madrasah, yang secara umumnya, dipanggil al-Madrasah an-Niżāmiyyah, di beberapa tempat lain di dalam empayar Kerajaan Banī al-‘Abbās (ad-Daulah al-‘Abbāsiyyah) ketika itu, seperti di Baghdād, al-Başrah, Mosul (Mauşil), Isfahan, Nīsyābūr, Merv, Balkh dan Herat.
Sejak kecil, al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang dengan ilmu pengetahuan. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah belajar kepada sejumlah guru dikota kelahirannya, antara lain Ahmad Ibn Muhammad al-Radzikani. Al-Ghazali memulai pendidikannya di kota Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selain itu juga tak segan-segan ia belajar kepada guru yang jauh dari kelahirannya, untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya. Ia pergi ke Naisabur dan Kurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Diantara guru yang terkenal yang pernah jadi gurunya ialah Imam al-Juwaini (Imam al-Haramain) seorang ulama yang bermazhab Syafi’i , sewaktu al-Ghazali menuntut ilmu di Naisabur.
Dengan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, al-Juwaini kemudian memberinya gelar bahrum mugriq (laut yang menenggelamkan). Al-Ghazali baru meninggalkan Naisabur setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia tahun 1085 M. (478 H). Dari Naisabur, al-Ghazali menuju Baghdad dan menjadi guru besar di Madrasah Nizhamiyah yang didirikan perdana menteri Nizham al-Mulk.
Di tengah-tengah kesibukannya di Madrasah Nizhamiyah, ternyata ia tidak melupakan dunia jurnalistik . Kreativitasnya di dunia jurnalistik dibuktikan dengan sejumlah buku, seperti al-Basith, al-Wajis, al-munqil, fi’ilm al-Jadal, Ma’akhidz, dan Mamadi’ wa al-Ghayat fi Fan al-Khalaf.
Setelah mengajar diberbagai tempat seperti Baghdad, Syam, dan naisaburi akhirnya ia kembali kekota kelahirannya, thus pada tahun 1105 M. Disini, ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk para fuqaha dan biara untuk para mutashawwifin dan mengabdikan dirinya sebagai pendidik hingga ia wafat pada tahun 1111 M dalam usia 54 tahun.[2]
B. Perkembangan Ilmu Pada Masa Itu
Perkembangan intelektulitas al-Ghazali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagai seorang pelajar. Pada waktu itu sejarah filsafat islam mencatat bahwa al-Ghazali pada mulanya dikenal sebagai orang yang ragu terhadap berbagai ilmu pengetahuan, ia selalu menunjukkan sikap keraguannya terhadap apa-apa yang dipelajarinya baik ilmu yang dicapai melalui panca indra maupun akal pikiran. Ia misalnya ragu terhadap ilmu kalam (teologi) yang dipelajarinya dari al-Juwaini.
Hal ini disebabkan karena dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang saling bertentangan, sehingga dapat membingungkan dalam menetapkan aliran mana yang betul-betul benar diantara semua aliran. Hal tersebut terus berlanjut hingga ia belajar di Baghdad. Pertanyaan yang selalu muncul dalam pikirannya adalah “apakah kepercayaan kepada Allah dapat menjadi suatu pengetahuan tertentu. Apakah yang dimaksud pengetahuan. Bagaimanakah seseorang dapat memastikan bahwa apa yang diketahuinya adalah benar dan sesuai dengan kenyataan?”
Rangkaian pertanyaan dan keraguan tersebut membuatnya terus berpikir dan mencari guru yang dapat memuaskan berbagai pertanyaan yang hadir dalam pikirannya. Pada akhir perjalanan intelektualnya, tasawuflah yang dapat menghilangkan rasa syak yang lama mengganggu diri al-Ghazali. Dalam tasawuf lah ia memperoleh keyakinan yang dicari-carinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan kedalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinan kembali. Melalui perjalanan mencari ini akhirnya telah membentuk dan memperkaya khazanah intelektualitasnya.
C. Pemikiraan-Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
C. Pemikiraan-Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1. Dalam pendidikan
a. Peranan pendidikan
Al-Ghazali termasuk kedalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam hal pendidikan al-Ghazali lebih cendrung berpaham empirisme,. Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
b. Tujuan Pendidikan
Menurut al-Ghazali tujuan pendidikan adalah mendekatkan diri kepada allah SWT.,bukan untuk mencari kedudukan,kemegahan dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri pada allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan.
c. Pendidik
Sejalan dengan pentingnya pendidikan mencapai tujuan sebagaimana disebutkan diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh melaksanakan pendidikan. Yaitu:
1) Guru yang mencintai murid seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
2) Tidak mengharapkan materi sebagai tujuan utamanya
3) Mengingatkan kepada muridnya agar tujuan menuntut ilmu bukan untuk membanggakan diri, melainkan mendekatkan diri kepada Allah
4) Mendorong murid agar mencari ilmu yang bermanfaat
5) Memberikan contoh yang baik di hadapan muridnya
6) Mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
7) Mengamalkan yang di ajarkannya
8) Memahami minat bakat dan jiwa anak didiknya
9) Menanamkan keimanan anak didiknya
Tipe ideal guru yang dikemukakan ai-Ghazali yang demikian sarat dengan dengan norma akhlak itu, masih dianggap relevan jika tidak dianggap dengan norma akhlak itu,masih dianggap relevan jika tidak dianggap hanya itu satu-satunya model, melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat kemasyarakatan akademis dan profesi.[3]
d. Murid
Sejalan dengan prinsip bahwa menuntutn ilmu pengetahuan sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka bagi murid dikehendaki hal-hal sebagai berikut:
1) Memuliakan guru dan bersikap rendah hati atau tidak takabur.
2) Merasa satu bangunan dengan yang lainnya yang saling menyayangi dan menghargai.
3) Menjuhkan diri dari berbagai mazhab yang dapat menimbulkan kekacauan dalam pemikiran.
4) Mempelajari tidak hanya satu jenis ilmu yang bermanfaat saja.
Ciri-ciri diatas untuk masa sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreatifitas dan kagairahan dalam belajar.
e. Kurikulum
Pandangan al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan wajib dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Ilmu yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia didunia ataupun diakhirat, misalnya ilmu sihir, nujum dan ilmu perdukunan. Bila ilmu ini dipelajari akan membawa mudarat dsn akan meragukan terhadab kebenaran adanya tuhan. Oleh karena itu ilmu ini harus dijauhi.
2. Ilmu yang terpuji, banyak atau sedikit. Misalnya ilmu tauid dan ilmu agama. Ilmu ini bila dipelajari akan membawa seseorang kepada jiwa yang suci dan bersih dari kerendahan atau keburukan serta dapat mendekatkan diri kepada Allah.
3. Ilmu yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ilmu ini dapat membawa kepada kogoncangan iman dan ilhab (meniadakan Tuhan) seperti ilmu filsafat
Selanjutnya yang menjadi titik perhatian al-Ghazali dalam mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik adalah ilmu yang digali dari kandungan al-Qur’an, karena ilmu model ini akan bermanfaat bagi kehidupan manusia didunia dan akhirat, karena dapat memenangkan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
2. Tentang negara
a. Asal mula negara
Al-Ghazali berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri karena dia makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia dan saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Dalam konsepsi ini, sangatlah jelas jika Al Ghazali mengadopsi konsep Aristoteles mengenai Negara secara genesis terutama pada konsepsi manusia sebagai mahkluk social yang dikejawantahkan dalam bentuk Negara sebagai unit pemersatu atau sarana pemenuhan kebutuhan social,
b. Kebutuhan akan sejumlah industri atau profesi
Dalam masyarakat yang terdiri dari beragam karakter dan keahlian, pembagian tugas ( division of labour ) antar anggota masyarakat dan sejumlah industri atau profesi merupakan langkah yang harus ditempuh agar masing-masing permasalahan dipecahkan oleh ahlinya. Menurut Al Ghazali, ada empat jenis industri atau profesi yang merupakan inti bagi tegaknya suatu negara:
1) Pertanian, untuk pengadaan makanan
2) Pemintalan, untuk pengadaan pakaian
3) Pembangunan, untuk pengadaan tempat tinggal
4) Politik, untuk penyusunan dan pengelolaan negara dan pengaturan kerjasama antar warga negara bagi pengamanan terhadap ancaman yang datang dari luar.
Dari keempat profesi tersebut politiklah yang paling penting dan mulia.Oleh karena itu, bidang politik menghendaki tingkat kesempurnaan yang paling tinggi daripada ketiga profesi lainnya. Karena politik dianggap satu tingkat di bawah Kenabian karena bersangkutpaut dengan kbutuhan bersama, maka mereka yang terlibat dalam profesi ini harus betul-betul memiliki keahlian, pengetahuan, dan kearifan yang memadai dan harus dibebaskan dari tugas dan tanggung jawab yang lain mengingat beban tanggung jawab yang harus mereka pikul.
c. Pemimpin Negara
Bagi Ghazali, dunia hanyalah ladang untuk mencari perbekalan bagi kehidupan nanti. Dan itu hanya mungkin tercapai bila ada ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan yang merata di dunia.Bertolak dari itu, pemilihan tidak hanya berdasar rasio tetapi berdasar agama karena kesejahteraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan ajaran agama secara sempurna.Dan hal itu baru tercapai dalam dunia yang tertib, aman, dan tentram.Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kepala negara yang ditaati, Ghozali meminjam suatu ungkapan, agama dan pemimpin ibarat dua anak kembar, agama adalah pondasi sedang Sultan adalah penjaga. Suatu yang tanpa pondasi akan runtuh dan suatu yang tanpa penjaga akan hilang. Konklusi yang dapat diambil dari pemikiran ini adalah pentingnya keberadaan agama dan sultan sebagai pilar untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan yang merata. Keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing yang saling terkait satu sama lain sebagai suatu system dengan tidak menitikberatkan pada satu elemen belaka, melainkan keduanya dalam kerangka memilih pemimpin Negara.
d. Kekuasaan dan kewenangan kepala negara
Kekuasaan raja tidak datang dari rakyat tetapi dari Allah yang diberikan kepada sejumlah kecil hamba pilihan dan oleh karenanya kekuasaan raja adalah Muqaddar atau suci. (dalam term lain, model ini sama dengan konsepsi St. Agustinus pada abad pertengahan di Eropa yang berlandaskan kedaulatan Tuhan). Maka seluruh rakyat secara mutlak harus taat dan melaksanakan semua perintahnya. Dengan kata lain, sistem pemerintahan Ghazali adalah Teokrasi dengan Islam sebagai pedoman dasar di setiap beragam aktivitas politik yang nantinya dipercaya akan membawa kemaslahatan.
Dengan konsepsi kekuasaan dan kewenangan Negara seperti itu, maka ada sepuluh syarat untuk menjadi seorang kepala negara:
1) dewasa atau aqil baligh
2) otak yang sehat
3) merdeka atau bukan budak
4) laki-laki
5) keturunan Quraisy
6) Pendengaran dan pengelihatan yangn sehat
7) kekuasaan yang nyata ; tersedianya bagi raja perangkat yang memadai termasuk angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh untuk memaksakan keputusan-keputusannya
8) hidayah ; mempunyai daya pikir dan daya rancang yang kuat yang ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat dan nasehat orang lain
9) ilmu pengetahuan
3. Tentang Ketuhanan
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari, dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm, sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya. Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat Tuhan dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak akan sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al Hawâdits (berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni (sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT. tidak terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fathir ayat 8.
Adapun bidang ketuhanan, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof sebagai ahlul bid’ah dan kafir. Kesalahan para filosof tersebut dalam bidang ketuhanan ada dua puluh masalah yaitu:[19] Tiga dari dua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali membuat filosof menjadi kafir yaitu:
a. Alam dan semua substansi qadim.
b. Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat (perincian) yang terjadi di alam.
c. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih jauh lagi mengenai ketiga hal tersebut oleh al-Ghazali:
a. Masalah qadimnya alam
Persoalan ini mendapatkan porsi pembahasan paling besar dalam kitab Tahafut al-Falasifah, hampir seperempat dari kitab tersebut membahas persoalan keqadiman alam. Qadim mengandung arti tidak bermula, tidak pernah tidak ada pada masa lampau dan oleh karena itu dia membawa pada pengertian tidak diciptakan. Dengan demikian dapat dipahami hanya Tuhan yang qadim.
Para filosof berpendapat bahwa alam ini qadim. Artinya wujud alam bersamaan dengan wujud Allah. Keterdahuluan Allah dari alam hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti keterdahuluan sebab dari akibat seperti cahaya dari matahari. Jika dirunut pemikiran filosof lebih rumit di mengerti daripada pemikiran al-Ghazali.
b. Masalah Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat (parsial)
Para filosof muslim, menurut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak mengetahui selain-Nya (juz’iyyat). Ibnu Sina mengatakan bahwa Allah mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang kulli. Alasan para filosof muslim, Allah tidak mengetahui yang juz’iyyat, bahwa di alam ini selalu terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan kepada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada Allah.
Menurut al-Ghazali, pendapat para filosof itu merupakan kesalahan fatal. Menurut al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu merupakan idhafah (suatu rangkaian yang berhubungan dengan zat). Jika ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dengan arti keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Lebih lanjut al-Ghazali mengemukakn ilustrasi, bila seseorang berada di sebelah kanan anda lalu berpindah ke sebelah kiri, kemudian berpindah ke depan atau belakang, maka yang berubah adalah dia bukan anda.
Demikianlah pula ilmu Allah, Ia mengetahui segala sesuatu dengan ilmu-Nya yang satu (esa) semenjak azali dan tidak berubah meskipun alam yang diketahui-Nya mengalami perubahan.Untuk memperkuat argumennya al-Ghazali mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an, di antaranya:
1). a. QS Yunus (10): 61…..Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun langit. Tidak ada yang lebih kecil (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)
2). QS Al-Hujurat (49): 16….. dan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Perbedaan pendapat antara al-Ghazali dan para filosof muslim tentang pengetahuan Allah ini wajar terjadi. Menurut para filosof muslim berbedanya objek ilmu membawa perubahan pada ilmu dan zat. Sementara menurut al-Ghazali berbedanya obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu dan zat. Perbedaan prinsip akan menyebabkan perbedaan kesimpulan. Al-Ghazali berusaha menarik masalah pada tataran konkret, sedangkan para filosof menarik masalah pada tataran abstrak.
c. Masalah Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut para filosof muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan jasmani akan hancur, sehingga yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani saja. Kendatipun ada gambaran dari agama berupa materi di akhirat, seperti surga dan neraka, semua itu pada dasarnya simbol-simbol (allegore) untuk memudahkan pemahaman orang awam.
Al-Ghazali pada dasarnya tidak menolak adanya bermacam-macam kelezatan di akhirat yang lebih tinggi daripada kelezatan di dunia empiris/indrawi. Ia tidak pula menolak kekekalan roh setelah berpisah dari jasad. Semua itu dapat diketahui berdasarkan otoritas jasad. Akan tetapi, ia membantah bahwa akal saja dapat memberikan pengetahuan final dalam masalah metafisika (sam’iyyat).
Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para filosof muslim lebih banyak bersandar pada arti tekstual Alquran. Menurut al-Ghazali, tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah berfirman “ Tidak ada seseorangpun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata” Demikian pula Firman-Nya:”Aku sediakan bagi hamba-Ku yang saleh, apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, dan tidak tergores dalam hati manusia.” Janji-janji Allah Yang Maha Sempurna, perpaduan di antara kedua hal (jasmani dan rohani) adalah yang paling sempurna dan mesti mungkin. Karenanya wajib membenarkan kemungkinan ini sesuai dengan agama.
Para filosof muslim berpendapat bahwa mustahil mengembalikan rohani kepada jasad semula. Menurut mereka, rohani setelah berpisah dengan jasad, berarti kehidupan telah berakhir dan tubuh telah hancur. Penciptaan kembali berarti penciptaan baru yang tidak sama dengan yang berlalu. Pengandaian hal ini berarti mengimplikasikan qadimnya suatu hal dan baharunya hal yang lain. Akan tetapi, jika diandaikan terjadi kebangkitan jasad, maka akan menempuh jalan yang sulit dan panjang, seperti adanya manusia yang memakan manusia dan adanya manusia yang cacat, pincang, dan yang lainnya, maka surga nanti akan ada sifat kekurangan dan ada pula satu jiwa dengan dua tubuh atau sebaliknya. Padahal di surga suci dari demikian. Jika tidak demikian maka akan terjadi proses yang panjang, seperti panjangnya proses kapas sampai menjadi kain.
Pertentangan antara al-Ghazali dengan filosof muslim hanya perbedaan interpretasi karena bedanya titik pijak. Al-Ghazali seorang teolog al-Asy’ary, ia aktif mengembangkan Asy’arisme selama delapan tahun (1077-1085) pada Universitas Nizamiyah Bagdad, tentu saja pemikirannya diwarnai oleh aliran ini, yakni dengan kekuasaan kehendak mutlak Tuhan dan interpretasinya tidak seliberal para filosof. Sementara itu, pemikiran para filosof muslim diwarnai pemikiran rasional, tentu saja interpretasi mereka lebih liberal dari al-Ghazali. Namun, antara kedua pihak sependapat bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan.
D.PENUTUP
Al-Ghazali adalah salah seorang tokoh pemikir islam yang sangat berpengaruh dalam dunia ilmu filsafat, terutama filsafat islam. Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yang senang dengan pengetahuan. Jadi tak mengherankan sejak masa kanak-kanak ia telah belajar kepada sejumlah guru dikota kelahirannya. Di antara guru yang terkenal yang pernah menjadi gurunya ialah Imam al-Juwaini, sewaktu ia menuntut Ilmu Dinaisabur.
Al-Ghazali pernah menjadi guru besar di universitas yang didirikan Nidham al-Mulk seorang perdana menteri Sultan Bani Sanjuk. Adapun pemikiran pendidikan al-Ghazali termuat dalam tiga buku karanganya, yaitu Fatihat al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya ulum al-Din. Menurut pendapatnya, pendidikan merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan akhirat.
Yang menjadi kontroversi dalam pemikiran al-Ghazali adalah saat ia membuat sebuah buku yang berjudul Maqasid al-Falasifah (Pemikiran kaum filosof). Buku ini dikarang nya untuk kemudian mengkritik dan menghantam filsafat. Kritik itu muncul dalam buku lainnya yang berjudul Tahafut al-Falasifah (kekacauan pemikiran filosof-filosof) . Dalam buku tersebut al-Ghazali banyak memberikan argumen-argumennya dalam pandangannya sebagai seorang islam, namun meskipun demikian, al-Ghazali tidak asal dalam membuat argumen ia terlebih dahulu membaca buku-buku Yunani sebagai pedomannya.
Al-Ghazali adalah seorang filosuf islam yang hidup antara tahun 450-505 H. Al-Ghazali telah banyak menyumbangkan pemikirannya dalam dunia islam, adapun berbagai hasil pemikirannya itu dalam pendidikan ialah membahas tantang, pendidik,murid,kurikulum. Selain itu al-Ghazali juga membahas tentang suatu negara dan ilmu-ilmu lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syadali,Ahmad,Drs,H,MA,ddk.1997.Filsafat Umum.Bandung: CV.Pustaka Setia
Jalaluddin, Dr,ddk.1994. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nata, Abudin, Drs,H,M.A.1999.Filsafat Pendidikan Islam.Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Nizar,Samsul,H.2002. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Ciputat Pers
Achmadi ,Asmoro,Drs.2005.filsafat umum.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada
Nasution,Hasan Bakti Dr,M.A.2001.filsafat umum.Jakarta:Gaya Media Pratam
[1] Drs. H. Abudin Nata, M, A. Filsafat Pendidikan Islam. Penerbit Logos Wacana Ilmu. Ciputat.1997. hal.159
[2]Samsul Nisar.Filsafat Pendidikan Islam. Penerbit Ciputat Pers. Jakarta. 2002. Hal.87
[3] Drs.H.Abudin Nata, M. A. Filsafat Pendidikan Islam. Penerbit.logos wacana Ilmu.Jakarta.1997.hal.164
0 comments:
Post a Comment